Seorang
teman pernah mengatakan, kriteria calon isterinya: shalihah, cerdas, kaya dan
cantik. Sebuah hadist juga mengemukakan, seorang perempuan dipinang karena
kecantikannya, hartanya dan keturunannya. Tapi pinanglah perempuan karena
keshalihannya. Itu yang utama. Saya sepakat dengan hadist tersebut. Perempuan
yang shalihah, insya Allah cerdas. Ketika seorang perempuan cerdas, harta bisa
dicari. Bila harta sudah di tangan, kecantikan bisa dibeli. Pilih satu, dapat
tiga.
Namun,
bila kita tinjau ulang, pemikiran akan kriteria calon isteri tersebut cenderung
egois. Tidak memandang dari banyak sisi. Hanya memandang pernikahan dari segi
manfaat untuk diri sendiri. Tidak untuk keluarga, sahabat dan lingkungan
sekitar. Padahal menikah adalah penyatuan dua organisasi besar; keluarga,
membentuk organisasi baru. Banyak pihak yang bisa terpengaruh dan mempengaruhi
pra dan pasca pernikahan.
Jika
kita berkaca, mengevaluasi. Melihat, mencari kelebihan dan kekurangan diri.
Niscaya kita akan menemukan berbagai fakta; kita juga punya banyak kekurangan.
Lalu, pantaskan bersibuk ria dengan segala macam kriteria? Sedang diri sendiri
mungkin tak bisa memenuhi segala kriteria impian oleh calon pasangan. Seseorang
berharap mendapat perempuan shalihah, namun apakah dia cukup shalih untuk
berdampingan dengan perempuan shalihah. Ia ingin perempuan cerdas, tapi apakah
ia cukup cerdas untuk mengimbangi kecerdasannya? Ia ingin perempuan berharta,
tapi seberapa banyak harta yang dapat dia berikan, untuk ‘membeli’ sang calon
dari ayah-bundanya. Dan ketika ia ingin perempuan cantik, apakah ia sendiri
cukup gagah, tidak jomplang, saat bersisian dengannya? Tidakkah keinginan si
lelaki terlalu berlebih?
Dari
kisah cinta para Nabi, sahabat dan para syuhada, ada sejumlah fakta: tangan
Allah selalu bermain. Kisah cinta Muhammad-Khadijah, Yusuf-Zulaikha hanyalah
sebagian kecil contoh. Keikhlasan menggenapkan separuh agama pasti akan
mendapat anugerah luar biasa; seorang isteri penghuni taman surga. Segala
hambatan pernikahan hanyut karena ibadah yang khusu, penghambaan yang sangat
padaNya. Manusia hanya berusaha, hasilnya terserah pada Yang Kuasa.
Hendaknya
seorang lelaki berusaha melihat dari banyak sisi, ketika datang seorang calon
isteri padanya. Segala identitas standar bukan pertimbangan utama. Serahkan
saja padaNya. Meminta petunjuk lewat shalat istikharah. Apakah perempuan itu
orang yang tepat? Apakah si calon pasangan dunia akhirat? Hanya Allah yang
tahu, kan?
Lelaki
manapun bisa saja berharap: Semoga calon isteri yang datang padaku adalah perempuan
shalihah. Bila belum shalihah, haruslah dia mengajak, meningkatkan pemahaman
agama, terus memperbaiki diri. Menghiasi rumah tangga dengan amalan wajib dan
sunnah. Menggapai sakinah. Semoga perempuan yang datang padaku cerdas. Jika
belum cerdas, mestilah dia yang mengajar dan belajar dari pasangannya. Mencari
ilmu baru, terutama ilmu rumah tangga. Tentang harta, boleh saja meminta:
datangkanlah padaku calon isteri yang berharta. Tetapi ingatlah, harta adalah
cobaan, tak banyak orang yang bisa tetap rendah hati, menunduk-nunduk ketika
punya harta. Lagipula harta gampang dicari. Soal kecantikan, wajar lelaki
normal ingin mendapatkan isteri cantik. Tetapi bukan hanya cantik lahir,
batinnya juga harus cantik. Yang menjadi pertanyaan, standar apakah yang akan
digunakan untuk menilai seorang perempuan cantik. Standar dunia atau standar
surga? Standar dunia menekankan kecantikan maya. Mengandalkan costmetik.
Kecantikan abadi, keindahan hingga akhir hayat dan di akhirat kelak, itulah
yang seharusnya dicari. Terserah cantik atau tidak kata dunia, yang penting
isteri bisa selalu menarik di mata, di hati. Menjadi telaga sejuk, pohon teduh
di terik siang. Standar cantik ini sifatnya personal. Orang lain memandang
biasa, tapi luar biasa menurut sang suami.
Perempuan
manapun yang datang pada seorang lelaki, sudah sepatutnya ia melepas kacamata
kekinian. Menggunakan kacamata masa depan dan kacamata banyak orang untuk
menilai. Mungkin banyak keindahan calon pasangan yang sengaja disimpan olehNya.
Allah ingin mengujinya, apakah dia cukup shaleh, cukup ikhlas, cukup bersabar
untuk mendapatkan pasangan sejati.
Pasti
ada keraguan saat menimbang. Maka dari itulah perlunya mengetuk nurani sahabat,
saudara, kakak, orang tua, mereka yang lebih berpengalaman. Calon suami dapat bertanya,
apakah perempuan begini akan begini-begini? Ia bisa minta tepukan tangan di
pundak, pelukan, dan untaian mutiara. Agar sang lelaki yakin, mantap. Semoga
setelah itu, dia betul-betul siap, menggenapkan separuh agama, mengapai
sakinah. Memberatkan bumi dengan generasi yang menjunjung tinggi kalimat La
Illa Ha Illallah.
(www.islamic-wedding.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar