Ketika komunikasi macet,
jalanan macet, ide menulis macet, proses penyembuhan macet, proses menuju
kebebasan macet, maka rasa frustasi yang mengalir, masuk ke dalam jiwa,
merasuki tulang. Hati yang panas semakin gerah, jiwa yang lelah terasa ingin menyerah.
Daripada menyesali hal-hal
yang kubutuhkan atau harapkan untuk berjalan kembali tetapi nyatanya tak
kunjung bergerak, atau menyumpahi keadaan dan kecerobohan yang telah
menimbulkan macet, lebih baik diam sejenak. Ada yang terlupakankah ? Tenang, tersenyum,
berharap, dan sadar.
Mungkin selama ini ku sudah
bergerak terlalu laju, sehingga tidak sempat mendongak menikmati kerlipan
bintang di langit malam, atau tersenyum kepada matahari pagi yang memberi
kehidupan. Mengulurkan tangan kepada anak-anak yang merindukan sapaanku. Dan
menyapa jiwaku sendiri yang kering karena kerutinan. Mungkin hatiku sudah
terlalu penuh dengan ambisi dan keinginan-keinginan duniawi, mungkin ini
saatnya membersihkan nurani, memurnikan motivasi, menyadari pemeliharaan Illahi,
yang sesungguhnya tak pernah sepi. Hanya jarang mendapat apresiasi.
Macet memang menyebalkan,
tidak ada ide, tidak ada kelanjutan, harapan menggantung, kepastian melayang.
Macet membuat bahtera hidup terhenti, dan semua aspirasi seakan mati. Tetapi
mungkin itulah saat yang tepat untuk meluruskan kemudi, mengistirahatkan
kendali, dan menyelaraskan diri dengan kehendak Illahi, supaya kita sungguh
sampai ke tujuan kita yang hakiki.
Terimakasih macet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar